Selasa, 31 Desember 2013

Neoliberalisme Mulai Kehilangan Legitimasi

Draft Pokok-pokok Situasi Internasional

Ekonomi Dunia

1. Semua data, yang menunjukkan ekses-ekses pelaksanaan kebijakan neoliberalisme di seluruh dunia, dengan jelas menunjukkan semakin parahnya ketimpangan dan degradasi di segala aspek kehidupan manusia. Sudah banyak bukti yang menjelaskan, bahkan dibenarkan oleh PBB, bahwa negeri-negeri yang tidak patuh terhadap kebijakan neoliberal adalah justru negeri-negeri yang berhasil maju secara ekonomi. Bahkan Amerika Serikat dan Inggris, negeri pencetus neoliberalisme, tidak melaksanakan paket kebijakan tersebut.

SITUASI NASIONAL

Kita Masih Terjajah, SBY-JK Masih Konsisten Sebagai Mandor.

Maret 2006-tidak sampai 24 jam sebelum Menlu AS, Condoleezza Rice, mendarat di Jakarta, ExxonMobil - diumumkan sebagai kepala operator eksplorasi Cepu. Korporasi yang dikabarkan ‘membantu’ pendanaan kampanye George W. Bush sebesar 2,8 juta dollar AS untuk terpilih sebagai presiden pada tahun 2004, telah disahkan oleh rejim SBY-JK sebagai pemilik kekayaan minyak bumi Rakyat Indonesia sebesar 2,6 miliar barel (atau mendekati separuh cadangan minyak Indonesia seluruhnya) . Bulan September 2006, giliran salah satu komprador terbesar bagi kaum imperialisme yang sekaligus menjabat sebagai RI 2, Jusuf Kalla, yang ‘melawat’ ke AS untuk menemui tuannya- Penguasa AS dan Vice President ExxonMobil.

ANALISIS KEBIJAKAN KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG DI KOTA MALANG



• Dalam UU No. 2 / th 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dinyatakan bahwa Pemerintah bersama dengan DPR telah bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap, namun demikian subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain meskipun telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil.

Sikap Politik Pers

MEDIA dalam hubungannya dengan kekuasaan merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Media dijadikan sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Kelompok dominan berusaha menampilkan definisi serta konstruksi realitas sosial menurut versi mereka sendiri. Dalam arena itu, berbagai dimensi esensial atau isu persoalan sehari-hari didefinisikan menurut kepentingannya dan berusaha menjadikan versinya sebagai yang paling absah.

Sosok jurnalis menjadi sorotan, dimana ia menjadi mesin produksi yang kreatif dalam mengkonstruksi berita. Pekerjaan wartawan pada hakikatnya adalah seperti yang diistilahkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann sebagai konstruksi realitas. Sehingga isi media sekedar hasil para pekerja media dalam mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Karena hanya menceritakan berbagai kejadian atau peristiwa, maka berita pada dasarnya merupakan realitas yang telah dikonstruksikan (Agus Sudibyo: 2001)

Hermeneutika Sakra yang Membebaskan

Tanda tanya di ujung judul buku ini menyimbolkan tantangan sekaligus telaah kritis dari seorang pe­mikir muslim garda depan asal Me­sir, Hassan Hanafi, terhadap ke­berlangsungan dan dialektika tradisi ilmu-ilmu tafsir Alquran sebagai sistem hermeneutika khusus (her­meneutica sacra), yang tidak lain adalah urat nadi pertumbuhan ke­budayaan dan peradaban umat Islam. Kritik Hanafi itu ibarat kapak ber­mata dua. Yang satu dia arahkan pada kejumudan pola diskursus tafsir klasik Islam, sedangkan yang kedua diarahkan pada diskursus orientalisme yang banyak mengarah pada bentuk-bentuk pemaknaan yang sangat politis dan riskan.


Pandangan mendasar hermeneutika Hanafi melihat bahwa teks Al­quran adalah mahateks yang ke­sa­kralan revelasi dan otentisitas me­tahistorisnya terjamin total se­ratus persen. Barulah dalam apli­kasi historisnya, teks Alquran ''mem­butuhkan'' suatu ke­ter­libatan eksistensial manusiawi, yang hal itu adalah tindakan-tindakan pe­nafsiran yang relevan dengan ka­rakter sosio-kultural masyarakat yang melingkupinya.

Prinsip itulah yang Hanafi pegang dengan konsisten sejak dulu sampai sekarang. Dengan prinsip itu pula, hermeneutika Hanafi menjadi epistemologi yang paling jernih dalam melihat dan memetakan problematika penafsiran Alquran secara global.

Berbeda dengan pakar hermeneuti­ka lain, misalnya Nasr Hamid Abu Zayd, yang memandang bahwa se­bagai sebuah teks, Alquran pada dasarnya adalah produk budaya (Nasr Hamd Abu Zayd, Tekstualitas Alquran, 2000). Zayd seolah menghilangkan kemurnian transendental da­lam proses pewahyuan Alquran dan melihat bahwa dimensi her­me­neu­tik teks Alquran berlaku secara vertikal, bahwa Nabi Muhammad ada­lah penafsir aktif terhadap Tuhan sebagai pemberi wahyu. Setelah dimakmumi selama puluhan tahun, hermeneutika yang penuh bias relativitas berlebihan itu kemudian oleh Zayd direvisi sendiri di hadapan khalayak pada acara International Ins­titute for Quranic Studies, Juni 2008. Dia akhirnya menyatakan per­sis seperti teori Hanafi bahwa her­meneutika Alquran bersifat ho­rizontal (nabi dengan umat) dan tidak mungkin berlaku secara vertikal antara nabi dan Tuhan.

Krisis Ilmu Tafsir

Berangkat dari krisis tradisi tafsir di Mesir, Hanafi membangun (oto)kritik hermeuneutikanya. Dia melihat banyak involusi dalam tradisi tafsir Quran Mesir yang dari segi pola, hal itu juga terjadi dalam tubuh tradisi tafsir negara-negara Islam lain, tak terkecuali tradisi tafsir di Indonesia. Karena itu, kritik konstruktif Hanafi juga sangat mengena untuk memahami persoalan krisis keberagamaan di Indonesia ini.

Krisis itu, menurut Hanafi, adalah keterpakuan yang alot terhadap tradisi tafsir masa lalu. Suatu diskursus tafsir Quran akan diakui validitas dan otoritasnya sejauh dia memiliki kesahihan riwayat (al-ma'thur) dari genealogi teks mazab-mazab induk. Masa lalu menjadi dasar dan induk penilaian untuk masa kini dan masa depan. Padahal, bentuk-bentuk fenomena baru yang terlahir di masa kini memiliki kompleksitas yang tidak selamanya bisa diqiyaskan (diperbandingkan) de­ngan hukum masa lalu yang memiliki basis fenomenologis sendiri.

Budayawan Ali Ahmad Said (Adonis) melihat hal itu sebagai ''yang statis'' (as-tsabit) dalam seja­rah intelektual Islam. Perjalanan il­mu tafsir bergerak secara sentripe­tal. Itu tecermin dari karakter pola taf­sir berparadigma tradisional yang ha­nya berkutat di sekitar sarah (ko­mentar), tafsil dan bagian-bagian yang tidak memperhatikan makna in­dependen teks, dan kondisi kon­tem­porer umat (hlm 11). Karena itu, Hanafi mengusulkan adanya tradisi taf­sir yang benar-benar baru, yang bisa saja lepas dari mata rantai tradisi tafsir. ''Lepas'' di sini tidak ber­makna a-historis, namun justru harus menjadi mata rantai yang ''me­lompat'' dan melampaui makna-makna masa lalu dan menjadi pin­tu baru bagi masa depan.

Kedua, kelemahan tradisi penafsiran saat ini lebih diarahkan pada di­mensi dogmatis-teologis ketimbang dimensi manusia dalam hu­bungannya dengan alam dan orang lain. Tradisi tafsir menjadi over-vertikal dan seakan lupa pada yang horizontal. Padahal, me­nu­rut Ha­nafi, tafsir haruslah so­lutif bagi per­masalahan-perma­salahan sosial dan mencerahkan ba­gi kehidupan ma­nusia. Dia me­l­ihat kemandulan sosial tafsir di­latarbelakangi oleh ketiadaan pola analisis pengalaman yang me­madai dalam melihat masa ki­ni. Asababun nuzul tafsir tradisio­nal haruslah berubah menjadi situasi kemanusiaan yang hadir sa­at ini dan dipahami lewat intuisi feno­menologis para mufasir sendiri.

Ada juga nada Foucaultian dalam kri­tik Hanafi. Dia juga melihat bah­­wa ketertutupan tafsir tradisio­nal pada pembaruan (tajdid) itu ti­dak terlepas dari kepentingan ke­las para mufasir yang oleh Sayyid Qutb dinamakan sebagai the pro­fes­­sional men of religion untuk me­­­ma­­pankan status sosialnya. De­ngan reorientasi sosiologis yang le­bih egaliter dan terbuka, se­sungguh­nya tradisi tafsir Quran bisa lebih kreatif dan leluasa dalam me­ngembangkan sayapnya.

Namun, satu hal yang patut di­per­tanyakan adalah nuansa pemi­ki­rannya yang kental dengan rasa di­ko­tomi Timur-Barat. Hanafi sela­ma ini memang dikenal sebagai penggagas utama oksidentalis­me dan ru­­pa­nya itu turut memenga­ruhi pula pan­dangan aplikatif terhadap hermeneutikanya. Padahal, bukankah istilah ''Timur-Barat'' sendiri sudah se­makin mencair saat ini?

Untuk mengimbangi kecende­ru­ngan keterpakuan pada riwayat teks, Hanafi menekankan bahwa tra­­­­disi tafsir harus ''kembali kepa­da Alam'' dan bukan sekadar ''kem­­­­­­­­bali kepada sumber'' (Sola Scri­p­­­­tura). Dengan itu, ilmu tafsir bisa mempertajam dan memperluas pandangan dunianya terhadap ayat-ayat kauniyah yang tidak lain adalah realitas sosial dan semesta itu sendiri. Padahal, ini sesungguhnya sudah banyak dilakukan oleh tradisi tafsir scientific Alquran oleh para saintis muslim, seperti Harun Yahya, juga saintis muslim era 80-an semacam Ismail Al-Farouqi yang hidup di masa periode kreatif Hanafi mencapai puncaknya. Dan, itu seharusnya diperhatikan secara lebih intensif dan terfokus oleh Hanafi maupun para intelektual yang bermakmum di belakangnya. (*)

---
Judul Buku : Hermeneutika Alquran?
Penulis : Hassan Hanafi
Penerbit : Nawesea Press, Jogjakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : xiv + 116 halaman
Sumber: Jawa Pos Minggu, 13 September 2009

Antonio Gramsci Perlawanan dari Penjara


ANTONIO Gramsci adalah figur yang amat fenomenal. Femia Joseph dalam tulisannya, Hegemony as Consciousness in The Thoughts of Antonio Gramsci (1975) misalnya bahkan mengatakan bahwa Gramsci merupakan pemikir politik terpenting setelah Karl Marx. Bahkan banyak pemikir yang mengatakan bahwa teori hegemoni ala Gramsci merupakan teori yang paling penting dikemukakan di abad XX.

Teori hegemoni menurut Gramsci, menisbatkan adanya pihak yang dikuasai untuk mematuhi penguasa. Pada saat itu, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Demikianlah yang dimaksud dengan “hegemoni” atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual” secara konsensional tersebut.

Buku ini merupakan buku terpenting Gramsci yang menunjukkan betapa intelektualisme dan gagasan besar tidak harus hidup dalam keindahan ruang alam raya yang seakan-akan bebas namun justru terpenjara, akan tetapi –seperti halnya buku ini– lahir dari sebuah pergulatan di dalam situasi di mana ruang dan waktu tak mengizinkan bertaburnya gagasan-gagasan politik ini. Buku ini ditulis di sebuah penjara yang pengap, gelap dengan kondisi penulisnya yang sakit-sakitan dan terus-menerus diteror rezim fasis saat itu.

Demikianlah seorang Gramsci, pemikir besar yang lahir dari situasi politik yang menyengsarakan, dan meninggal dalam ‘kesengsaraan’ pula. Ironisnya, kekuasaan fasis yang menindas membuatnya ia bahkan tidak pernah bagaimana wajah anak bungsunya, karena ia meninggal di penjara. Inilah arti kekejaman dari kediktatoran bagi seorang Gramsci. Namun demikian, di sisi lain kita mesti memahami bahwa kesengsaraan yang dialami merupakan fisik, yang kemudian tidak bisa kita bandingkan dengan warisan intelektualnya yang bisa kita nikmati sampai hari ini. Sang Gramsci meninggal dalam penjara di Roma, 27 April 1937.

Urgensi mempelajari ulang siapa sebenarnya, apa pikiran-pikirannya, dan latar belakang apa yang membuat Gramsci mempunyai pikiran tersebut, sebenarnya merupakan kekayaan tersendiri yang sangat berarti bagi dunia filsafat, dan dengan demikian manifestasinya dalam dunia politik. Bagi aktivis-aktivis pergerakan atau LSM di Indonesia, misalnya, dalam banyak hal Gramsci adalah sosok referensi yang penting.

Sayangnya, justru pikiran Gramsci yang ramai diperbincangkan dunia, terutama di era 60an-70an, justru di Indonesia terjadi sebaliknya. Saat rezim Orde Baru berkuasa dan beri’tikad buruk dan kejam terhadap segala jenis ‘penyimpangan ideologi’ yang dilakukan rakyatnya, adalah saat di mana pikiran-pikiran Gramsci tidak bisa disuarakan. Bahkan dalam lingkup akademis sekalipun. Lebih jauh, nasib kritikus Marxisme klasik ini menjadi semakin merana, karena hanya sekedar untuk pertimbangan pun diharamkan.
Sumber: http://www.averroespress.net/

Senjakala Kesadaran


(Oleh Herman Oesman)

MUNGKINKAH kita memiliki watak sebagai pemenang dan pecundang secara bergantian dalam setiap pertarungan apa saja, termasuk kekuasaan/politik? Watak pemenang, mungkin sering kita jumpai, lakoni dan bahkan perjuangkan. Sementara watak pecundang, kiranya masih jarang, mungkin juga sama sekali tidak pernah kita temukan. Bahkan watak pecundang kita ekspresikan pada sikap-sikap yang tidak santun, menggiringnya pada wilayah-wilayah menghalalkan segala cara, memanipulasi akal sehat dan menggerogoti naluriah berkompetisi, menyeret seluruh wacana-wacana penggugah, seperti; demokrasi, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya pada pentas pertarungan itu. Memompa seluruh energi, sumber daya dan pikiran untuk menghadang agar kita tidak jadi pecundang. Kita menjadi begitu ”ketakutan” dan bahkan tidak toleran untuk bertarung dengan segala kekurangan yang kita miliki. Sudah matikah kesadaran kita untuk menerima kekalahan dan mengakui kelebihan orang lain?

Pertarungan dalam wilayah apapun, termasuk politik, selalu mengisyaratkan tafsiran makna duaan (oposisi binner), kalah atau menang. Pada tafsiran itulah, pertarungan yang tampil mestinya adalah pertarungan kesadaran. Dalam pandangan para sosiolog, teori tentang kemajuan selalu menyangkut dua fokus perkembangan: pertama, perkembangan dalam struktur atas atau kesadaran manusia tentang diri sendiri dan alam sekelilingnya dan kedua, perkembangan struktur bawah atau kondisi sosial/material dalam kehidupan manusia.

Antara kedua fokus ini, yakni struktur atas (kesadaran manusia) dan struktur bawah (kondisi sosial/material) kadang memunculkan benturan keras yang mematikan asumsi-asumsi epistemologi dan akal sehat kemanusiaan kita. Dan yang terjadi adalah hitungan-hitungan material. Kita pun memaksakan diri ketika struktur atas (kesadaran) lumpuh dihimpit struktur bawah (material). Pertimbangan-pertimbangan material lebih kita dahulukan ketimbang akal sehat dan kesadaran.

Memang, tak bisa dipungkiri, materialisme sebagai anak kandung kapitalisme telah merajalela dalam semua lini kehidupan manusia. Dan bila mengikuti paradigma Weberian, sudah hampir menjadi suatu rumus kehidupan, bahwa siapa pun, baik individu maupun masyarakat akan selalu menginginkan keadaan yang selalu lebih baik dan lebih maju dibandingkan sebelumnya.

Faktor penggerak kemajuan berkaitan dengan perkembangan kemampuan dan potensi para petarung (elit) dalam menghimpun faktor-faktor produksi dan syarat-syarat sosial, ekonomi, dan budayanya untuk mencapai pertumbuhan signifikan yang dapat menyeimbangkan dua faktor yang disebut di atas (kesadaran dan material). Dalam konteks inilah, marilah kita membuat daftar apa saja yang telah dihimpun para petarung dalam mendorong kemajuan daerah yang dipimpinnya. Tidak salah bila pada tataran ini muncul subyektivisme.

Karena yang muncul subyektivisme, berarti yang mengemuka selalu merasa diri paling benar sekalipun apa yang dilakukan secara obyektif mungkin mengidap kekeliruan atau sama sekali tidak menampakkan kemajuan. Sisanya dianggap salah, menyimpang, dan lain-lain. Subyektivitas itu pun lalu melebar menjadi realitas sosial yang diterima oleh mereka yang se-pikiran, se-ideologi dan mungkin juga kepentingan yang sama dan di-amini. Dari subyektivitas lalu bergeser menjadi realitas, dan akhirnya dipaksakan untuk diterima masyarakat. Lagi-lagi, kita alpa pada etika berkompetisi, yaitu menjunjung sikap toleransi sebagai salah satu elemen mendasar dari demokrasi.

Tak salah bila Robert A. Dahl menyindir, tak terbayangkan sebuah demokrasi bisa berjalan apabila persaingan dan partisipasi politik yang tinggi tidak disertai dengan toleransi. Jadi, partisipasi harus disertai sikap toleransi untuk membuat demokrasi bisa berjalan dan stabil.

Alhasil, akhir-akhir ini di Kabupaten/Kota se-Maluku Utara kita tengah menyaksikan pentas pengujian demokrasi melalui elit atau mereka yang punya hak berkompetisi mulai pasang kuda-kuda dalam wilayah pertarungan. Lagi-lagi yang harus diperhatikan adalah komponen penting dalam demokrasi, yakni civil liberty (kebebasan warga), yang harus dibangun dengan baik.

Civil liberty merupakan pengakuan atas hak-hak politik yang sama bagi kelompok lain, atau sikap toleran terhadap kelompok yang tak disukai tetapi memiliki hak politik yang sama. Bila kompetisi tidak mampu menjamin hadirnya civil liberty dalam setiap pertarungan “demokrasi” itu berarti kita sedang mematikan kesadaran akan sikap toleransi dan partisipasi politik. Civil liberty, terutama toleransi politik di tingkat elite maupun massa, termasuk yang tidak sepikiran dan sejalan, sangat membantu bagi stabilnya sebuah demokrasi.

Komponen dasar dari demokrasi adalah sejauh mana kita mampu membaca suasana hati rakyat terhadap demokrasi, apalagi pertarungan itu dalam wilayah politik ”dalam ruangan”. Suasana hati rakyat terhadap demokrasi merupakan salah satu parameter penting dalam melihat kondisi demokrasi kita di Maluku Utara. Sudahkah ini disadari para elit kita yang bertarung demi kekuasaan?

Dengan demikian, tak ada jalan lain, untuk melihat centang-perenangnya demokrasi Maluku Utara yang harus didukung kuat dengan sikap berkompetisi yang toleran, termasuk bersedia menjadi pecundang atau pemenang. Lebih dari itu, perlu dihadirkan rasa kesadaran tinggi bahwa kekuasaan semata-mata untuk banyak orang, bukan untuk diri sendiri atau kelompok. Marilah, kita mulai belajar mendewasakan kesadaran berdemokrasi di Maluku Utara.[]

Makna Kota dalam Memoar Orhan Pamuk


Kota harus dimaknai secara komprehensif, bukan hanya sebagai arena kontestasi ekonomi-politik semata yang ujung-ujungnya berkubang kepada persoalan materi dan ukuran kelas-kelas kekayaan. Demi ”keselamatan” kota itu sendiri, ...

... kota harus menjadi tempat yang nyaman bagi penduduknya dan memikat orang-orang di luar dirinya.

Kota adalah ruang (space) materi sekaligus nonmateri bagi orang-orang yang menghuni di dalamnya. Ia bukan hanya seperangkat benda-benda (ornamen) dan properti-properti yang menandai kebudayaan serta geliat peradaban suatu tempat. Namun, kota juga merupakan suatu lanskap bagi imajinasi para penghuninya. Yaitu tempat di mana manusia di dalamnya bebas bermimpi tentang nuansa sebuah kota. Nuansa yang terbayang dari serangkaian peristiwa sejarah yang telah melekat dengannya. Sebuah kota juga tidak bisa dipisahkan dari emosi sejarah dan peradaban bangsanya pada masa lalu.

Tentang pergulatan dan makna sebuah kota, Orhan Pamuk melalui memoar Istanbul: Kenangan Sebuah Kota menyajikan kepada kita dengan sangat menawan. Makna kota di tangan Pamuk sebagai seorang penulis jelas berbeda pendekatannya dibandingkan dengan seorang pelukis, pebisnis, ataupun arsitek. Namun yang pasti, Pamuk menyerukan hampir di semua isi memoar bahwa sebuah kota harus diziarahi hingga ke detail akar sejarahnya, bahkan sampai ke denyutnya yang paling dalam. Melalui pergulatannya yang dalam itu pula, dengan yakin Pamuk mencamkan bahwa ”I have described Istanbul when describing myself and described myself when describing Istanbul”. Pamuk dan kota Istanbul telah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Kemurungan kota

Itulah deskripsi Istanbul di tangan Pamuk. Istanbul bukan hanya prasasti atau bangunan-bangunan tua bekas Khalifah Utsmaniyah ataupun konstruksi modern ala Eropa yang bisa disaksikan sekarang. Namun, ada sesuatu di balik semua itu, yaitu kemurungan atau kemuraman (huzun). Di tengah ketegaran dan eksotisme Turki modern saat ini, kemurungan tetap terbayang di Istanbul. Karena itu, Pamuk mengkritik keras penulis-penulis Barat yang hanya memuja-muja Istanbul sebagai kota elegan dan eksotis (hal 362) tanpa menelisik kemuraman yang sudah berabad tertimbun di dalamnya.

Padahal, sejak Turki mengalami fase peralihan dari Khalifah Utsmaniyah (Ottoman) ke Turki Modern di bawah kepemimpinan Musthafa Kemal Attaturk pada tahun 1924, sejarah ”terbelah” antara Timur (Islam) dan Barat (Eropa). Pembelahan terjadi baik secara agama, budaya, ekonomi, maupun politik. Mulai era inilah Turki menjadi sebuah negara dan Istanbul sebagai pusat perlintasan Barat.

Namun, keduanya gamang menatap masa depan. Berada pada pilihan untuk tetap merangkul kokoh tradisi khalifah atau berpaling ke Eropa sebagai lanskap peradaban baru Turki masa kini. Sejak fase itu Turki bergulat dengan masa depannya yang melankolik. Pergulatan ini ditangkap oleh Pamuk melalui riset khusus yang kemudian dituangkan ke dalam memoar ini.

Orhan Pamuk, peraih Nobel Sastra tahun 2006, memang sudah tidak asing bagi pencinta novel di Indonesia. Novelis ini begitu yakin bahwa kemuraman tidak akan pernah terhapus dari ingatan penduduk Istanbul khususnya dan Turki pada umumnya. Kata itu telah menjadi roh dan emosi bagi kota kelahiran yang telah membesarkan dirinya. Pamuk dengan sangat bijak mencoba membangunkan dan menghidupkan kembali memori kolektif bangsanya agar melek terhadap sejarah melankolia Istanbul sebenarnya.

Memori kolektif sendiri pada awalnya berkembang dalam kajian sastra terutama bagi Jean-Paul Sartre dengan istilah ”engaged literature” (Perancis: littĂ©rature engagĂ©e). Kini berkembang hingga ke persoalan kebangsaan. Menurut Sartre: ”seseorang hanya dapat dikatakan ada jika dia memiliki kesadaran untuk terlibat dalam (sejarah) masalah masyarakatnya”. Memori kolektif adalah langkah penting menuju penerimaan diri sendiri dan orang lain.

Sisi lain, Yvette Johnson, seorang peneliti sejarah etnik Afro-Jerman, mengatakan bahwa kesadaran akan asal-usul dan nenek moyang merupakan dasar bagi eksistensi sebuah komunal masyarakat. Agar etnik Afro-Jerman tetap eksis dan memiliki masa depan baik, demikian Yvette, mereka membutuhkan masa lampau, yaitu sebuah kesadaran historis. ”Mereka perlu mengingat narasi hitamnya dalam sejarah bangsa Jerman,” ungkap Yvette.

Dengan demikian, kesadaran sejarah akan melahirkan memori kolektif yang kuat. Dalam pandangan Adorno, ingatan kolektif akan penderitaan justru merupakan sebuah keharusan imperatif. Karena di saat seperti itulah, kesadaran dan spirit perjuangan yang diajarkan oleh masa silam sejarahnya semakin menemukan posisi. Dan Pamuk, melalui buku terbaru ini, menyajikan ingatan publik tentang Istanbul maupun orang-orangnya di masa silam, kini, sekaligus juga proyeksi masa depannya.

Demi menghidupkan kembali memori kolektif, Pamuk menuliskan ornamen kota, lanskap, bangunan tua, pelabuhan, sungai, lorong-lorong bisu dengan mitos, sejarah, bahkan kisah asmara. Tidak hanya cukup sampai di situ, sengketa dan tragedi kehidupan berdarah serta misteri-misteri runyam lainnya ia paparkan.

Dalam buku ini, sejak awal Pamuk menyinggung tentang kemiskinan dan masyarakat tersisih di pinggiran Istanbul. Sebagaimana pengakuannya, ”Kota tempat saya dilahirkan ini lebih miskin, lebih kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi saya, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan” (hal 7). Lanskap kemiskinan dengan penduduk yang kumuh itu diracik sedemikian memukau oleh Pamuk sehingga pembaca dapat merasakan kemuraman Istanbul masa silam.


Data Buku:

* Judul Buku: Istanbul: Kenangan Sebuah Kota
* Penulis: Orhan Pamuk
* Penerjemah: Rahmani Astuti
* Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
* Cetakan: 2009
* Tebal: 363 halaman
Sumber: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/02/03413264/makna.kota.dalam.memoar.orhan.pamuk

WAJAH BANGSAKU


BANGSAKU

Tergabung dalam wilayah negara-negara ASEAN.
Pernah Menjadi salah satu Macan ASIA.
Dahulu punya semangat juang yang tinggi mengusir penjajah dari negara-negara besar.

POTENSI BANGSAKU

Tanahnya subur
Rakyatnya banyak (200 juta lebih)
Potensi perairan luar biasa.
Sumberdaya alam melimpah
Multi etnic dan budaya
Daya tarik wisata luar biasa
Dan banyak lagi…

MENTAL BANGSAKU

Sopan santun ???
Kreatif ???
Korupsi ???
Penindas ???
Penipu ???
Apalagi…???

PRESTASI BANGSAKU

Penyelenggara PEMILU demokratis 2004.
Rakyatnya senang memecahkan REKOR MURI
Pengidap Flu burung terbanyak di dunia.
Kecelakaan transportasi terbanyak.
Negara paling banyak bencana alam.
Pengidap HIV yang setiap tahun meningkat populasinya.
Intensitas kriminalitas tertinggi di Asia Tenggara.
Pabrik Narkoba terbesar di Asia Pasifik.
Negara dengan tingkat Korupsi sangat tinggi.

RAKYAT BANGSAKU

Menderita Kemiskinan
Kerusuhan Merajalela
Korupsi menjadi budaya
Krisis mental

SAUDARAKU

Anda adalah bagian dari solusi penyelesaian masalah bangsa ini…
Anda adalah Orang-orang terpilih untuk memperbaiki masalah Bangsa
Apatis terhadanya samahalnya dengan menghianati bangsa ini
Saudaraku..... rapatkan barisan
Bersama bersatu berjuang menuju kemenangan
Buang rasa gentar tuk tumpaskan kezaliman
Marilah berpegangan tangan penuh pendirian
Menuju satu kemengan
Indonesia baru

WAJAH BARU BANGSA KITA

Macan ASIA
Terpelajar
BEBAS KKN
Demokratis
Tingkat perekonomian dengan tingkat pendapatan yang tinggi.
BIROKRASI KITA? MELAYANI BUKAN UNTUK DILAYANI

AMAN BANGSAKU !
JAYALAH BANGSAKU!

JALAN ITU MASIH TERBENTANG, BANGKITLAH HARAPAN ITU MASIH ADA....!!!

MEMPERTANYAKAN IDENTITAS NASIONAL


Oleh Rahmat Abd Fatah

Dalam sebuah buku[1] penulis bertanya dengan nada “miris” Ke mana arah bangsa ini”.[h.19]. Beliau mau menegaskan bahwa kalau kita melupakan character building-yang pernah dianggap begitu kunci oleh soekarno, bangsa Indonesia dapat terhapus dari muka bumi”[16] Ia mengingatkan akan Bung Karno “Jika pembangunan karakter tidak berhasil, bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa kulit [14].  Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ[2] bertanya apakah situasi kita parah? Ia melanjutkan sekurang-kurangnya cukup parah. Ia mengatakan bukan hanya karena ancaman narkoba dan sebagainya. Melainkan karena masyarakat kita, terutama secara kolektif tidak tahu disiplin, tidak tahu apa itu fairness,