Selasa, 31 Desember 2013

Hermeneutika Sakra yang Membebaskan

Tanda tanya di ujung judul buku ini menyimbolkan tantangan sekaligus telaah kritis dari seorang pe­mikir muslim garda depan asal Me­sir, Hassan Hanafi, terhadap ke­berlangsungan dan dialektika tradisi ilmu-ilmu tafsir Alquran sebagai sistem hermeneutika khusus (her­meneutica sacra), yang tidak lain adalah urat nadi pertumbuhan ke­budayaan dan peradaban umat Islam. Kritik Hanafi itu ibarat kapak ber­mata dua. Yang satu dia arahkan pada kejumudan pola diskursus tafsir klasik Islam, sedangkan yang kedua diarahkan pada diskursus orientalisme yang banyak mengarah pada bentuk-bentuk pemaknaan yang sangat politis dan riskan.


Pandangan mendasar hermeneutika Hanafi melihat bahwa teks Al­quran adalah mahateks yang ke­sa­kralan revelasi dan otentisitas me­tahistorisnya terjamin total se­ratus persen. Barulah dalam apli­kasi historisnya, teks Alquran ''mem­butuhkan'' suatu ke­ter­libatan eksistensial manusiawi, yang hal itu adalah tindakan-tindakan pe­nafsiran yang relevan dengan ka­rakter sosio-kultural masyarakat yang melingkupinya.

Prinsip itulah yang Hanafi pegang dengan konsisten sejak dulu sampai sekarang. Dengan prinsip itu pula, hermeneutika Hanafi menjadi epistemologi yang paling jernih dalam melihat dan memetakan problematika penafsiran Alquran secara global.

Berbeda dengan pakar hermeneuti­ka lain, misalnya Nasr Hamid Abu Zayd, yang memandang bahwa se­bagai sebuah teks, Alquran pada dasarnya adalah produk budaya (Nasr Hamd Abu Zayd, Tekstualitas Alquran, 2000). Zayd seolah menghilangkan kemurnian transendental da­lam proses pewahyuan Alquran dan melihat bahwa dimensi her­me­neu­tik teks Alquran berlaku secara vertikal, bahwa Nabi Muhammad ada­lah penafsir aktif terhadap Tuhan sebagai pemberi wahyu. Setelah dimakmumi selama puluhan tahun, hermeneutika yang penuh bias relativitas berlebihan itu kemudian oleh Zayd direvisi sendiri di hadapan khalayak pada acara International Ins­titute for Quranic Studies, Juni 2008. Dia akhirnya menyatakan per­sis seperti teori Hanafi bahwa her­meneutika Alquran bersifat ho­rizontal (nabi dengan umat) dan tidak mungkin berlaku secara vertikal antara nabi dan Tuhan.

Krisis Ilmu Tafsir

Berangkat dari krisis tradisi tafsir di Mesir, Hanafi membangun (oto)kritik hermeuneutikanya. Dia melihat banyak involusi dalam tradisi tafsir Quran Mesir yang dari segi pola, hal itu juga terjadi dalam tubuh tradisi tafsir negara-negara Islam lain, tak terkecuali tradisi tafsir di Indonesia. Karena itu, kritik konstruktif Hanafi juga sangat mengena untuk memahami persoalan krisis keberagamaan di Indonesia ini.

Krisis itu, menurut Hanafi, adalah keterpakuan yang alot terhadap tradisi tafsir masa lalu. Suatu diskursus tafsir Quran akan diakui validitas dan otoritasnya sejauh dia memiliki kesahihan riwayat (al-ma'thur) dari genealogi teks mazab-mazab induk. Masa lalu menjadi dasar dan induk penilaian untuk masa kini dan masa depan. Padahal, bentuk-bentuk fenomena baru yang terlahir di masa kini memiliki kompleksitas yang tidak selamanya bisa diqiyaskan (diperbandingkan) de­ngan hukum masa lalu yang memiliki basis fenomenologis sendiri.

Budayawan Ali Ahmad Said (Adonis) melihat hal itu sebagai ''yang statis'' (as-tsabit) dalam seja­rah intelektual Islam. Perjalanan il­mu tafsir bergerak secara sentripe­tal. Itu tecermin dari karakter pola taf­sir berparadigma tradisional yang ha­nya berkutat di sekitar sarah (ko­mentar), tafsil dan bagian-bagian yang tidak memperhatikan makna in­dependen teks, dan kondisi kon­tem­porer umat (hlm 11). Karena itu, Hanafi mengusulkan adanya tradisi taf­sir yang benar-benar baru, yang bisa saja lepas dari mata rantai tradisi tafsir. ''Lepas'' di sini tidak ber­makna a-historis, namun justru harus menjadi mata rantai yang ''me­lompat'' dan melampaui makna-makna masa lalu dan menjadi pin­tu baru bagi masa depan.

Kedua, kelemahan tradisi penafsiran saat ini lebih diarahkan pada di­mensi dogmatis-teologis ketimbang dimensi manusia dalam hu­bungannya dengan alam dan orang lain. Tradisi tafsir menjadi over-vertikal dan seakan lupa pada yang horizontal. Padahal, me­nu­rut Ha­nafi, tafsir haruslah so­lutif bagi per­masalahan-perma­salahan sosial dan mencerahkan ba­gi kehidupan ma­nusia. Dia me­l­ihat kemandulan sosial tafsir di­latarbelakangi oleh ketiadaan pola analisis pengalaman yang me­madai dalam melihat masa ki­ni. Asababun nuzul tafsir tradisio­nal haruslah berubah menjadi situasi kemanusiaan yang hadir sa­at ini dan dipahami lewat intuisi feno­menologis para mufasir sendiri.

Ada juga nada Foucaultian dalam kri­tik Hanafi. Dia juga melihat bah­­wa ketertutupan tafsir tradisio­nal pada pembaruan (tajdid) itu ti­dak terlepas dari kepentingan ke­las para mufasir yang oleh Sayyid Qutb dinamakan sebagai the pro­fes­­sional men of religion untuk me­­­ma­­pankan status sosialnya. De­ngan reorientasi sosiologis yang le­bih egaliter dan terbuka, se­sungguh­nya tradisi tafsir Quran bisa lebih kreatif dan leluasa dalam me­ngembangkan sayapnya.

Namun, satu hal yang patut di­per­tanyakan adalah nuansa pemi­ki­rannya yang kental dengan rasa di­ko­tomi Timur-Barat. Hanafi sela­ma ini memang dikenal sebagai penggagas utama oksidentalis­me dan ru­­pa­nya itu turut memenga­ruhi pula pan­dangan aplikatif terhadap hermeneutikanya. Padahal, bukankah istilah ''Timur-Barat'' sendiri sudah se­makin mencair saat ini?

Untuk mengimbangi kecende­ru­ngan keterpakuan pada riwayat teks, Hanafi menekankan bahwa tra­­­­disi tafsir harus ''kembali kepa­da Alam'' dan bukan sekadar ''kem­­­­­­­­bali kepada sumber'' (Sola Scri­p­­­­tura). Dengan itu, ilmu tafsir bisa mempertajam dan memperluas pandangan dunianya terhadap ayat-ayat kauniyah yang tidak lain adalah realitas sosial dan semesta itu sendiri. Padahal, ini sesungguhnya sudah banyak dilakukan oleh tradisi tafsir scientific Alquran oleh para saintis muslim, seperti Harun Yahya, juga saintis muslim era 80-an semacam Ismail Al-Farouqi yang hidup di masa periode kreatif Hanafi mencapai puncaknya. Dan, itu seharusnya diperhatikan secara lebih intensif dan terfokus oleh Hanafi maupun para intelektual yang bermakmum di belakangnya. (*)

---
Judul Buku : Hermeneutika Alquran?
Penulis : Hassan Hanafi
Penerbit : Nawesea Press, Jogjakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : xiv + 116 halaman
Sumber: Jawa Pos Minggu, 13 September 2009

Tidak ada komentar: