Selasa, 31 Desember 2013

MEMPERTANYAKAN IDENTITAS NASIONAL


Oleh Rahmat Abd Fatah

Dalam sebuah buku[1] penulis bertanya dengan nada “miris” Ke mana arah bangsa ini”.[h.19]. Beliau mau menegaskan bahwa kalau kita melupakan character building-yang pernah dianggap begitu kunci oleh soekarno, bangsa Indonesia dapat terhapus dari muka bumi”[16] Ia mengingatkan akan Bung Karno “Jika pembangunan karakter tidak berhasil, bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa kulit [14].  Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ[2] bertanya apakah situasi kita parah? Ia melanjutkan sekurang-kurangnya cukup parah. Ia mengatakan bukan hanya karena ancaman narkoba dan sebagainya. Melainkan karena masyarakat kita, terutama secara kolektif tidak tahu disiplin, tidak tahu apa itu fairness,
tidak bisa berpikir panjang, berperasaan picik, sektarian-kesukuan, tidak menunjukan pandangan jauh ke depan, lemah dalam kepedulian sosial. Ia kemudian bertanya bagaimana mungkin bangsa seperti ini bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain? Beliau melanjutkan, Betul, ketemu muka kita masih menemukan sopan santun tradisional, kesediaan untuk membantu. Rakyat tidak beyond hope, tetapi begitu mereka berada di luar konteks sosial tradisonal mereka lalu menjadi keras, massal, tidak bertanggung jawab, bisa brutal dan kejam, bisa melakukan hal-hal yang mestinya membikin mereka malu.
            Masi Romo Franz, selain itu situasi yang paling mengancam bangsa dan negara adalah korupsi, Beliau mengatakan khususnya elit kita: korupsi para pejabat di pusat dan daerah, korupsi di kementerian-kementerian, korupsi di polisi, di kejaksaan, mafia peradilan, money poltics, dan pragmatisme murahan dalam Dewan Perwakilan Rakyat, Beliau melanjutkan; kedalaman rawa kebusukan justeru menjadi kentara sesudah bapak SBY disumpah sebagai presiden untuk kedua kalinya. menjijikan, korupsi elit politik kita tak kurang suatu penghianatan terhadap bangsa. Sebagai akibatnya generasi muda bangsa Indonesia terancam oleh dua bahaya, oleh konsumeisme hedonistik dan ekstrimisme keagamaan.
Berdasarkan kenyataan tersebut setidaknya ada dua hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam “membentuk” kebudayaan nasional, yaitu identitas nasional dan kesadaran nasional. Di masa awal Indonesia merdeka misalnya, identitas nasional ditandai oleh bentuk fisik dan kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia (di antaranya adalah penghormatan kepada Sang Saka Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Indonesia, dan seterusnya). Sementara kesadaran nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan pluralitas. Kesadaran nasional selanjutnya dijadikan dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai upaya untuk melepaskan bangsa ini dari subordinasi (ketergantungan, ketertundudukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing.
Pembentukan identitas dan kesadaran bangsa adalah sarana pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, yang harusnya menjadi strategi kebudayaan nasional. gagasan kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa memang sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakikat, yaitu: [1] kedaulatan rakyat, [2] kemandirian, dan [3] persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Setidaknya pertama, identitas dan kesadaran yang berkarakter itu akan terbentuk berdasarkan dorongan kuat dari dalam diri, terutama kesiapan dan kesadaran elite dan generasi muda sebagai cadangan masa depan bangsa, dalam menyiapkan struktur dan aktor(lihat Dualitas Anthony Ghiddens). karakter[3] adalah keutuhan seluruh perilaku psikis hasil pengaruh faktor endogen (Genetik) dan faktor eksogen[4], yang membedakan individu atau kelompok individu yang menjadi determinan perilaku seseorang dalam penyesuainnya dengan lingkungan. Karakter menurut Prof. Conni, dimanifestasikan dalam kebiasaan baik dan kebajikan dalam hidup sehari-hari; pikiran baik, hati baik, dan tingkah laku baik. karakter sifatnya memancar dari dalam (Inside-Out) dalam arti bahwa kebiasaan baik dilakukan bukan atas permintaan, atau tekanan dari orang lain namun atas kesadaran dan kemauan, sekaligus mampu  mengiringi  kemantapan dalam setiap maunya (M.Tarbawi/012).
Kedua, Identitas dan kesadaran yang berkarakter akan sangat tergantung dari kekuatan objektif yang menarik kita untuk merespon dan karenya membentuk sesuatu yng lain dri diri kita sendiri. Identitas nasional senantiasa berjalan simultan dan berubah dalam memperbaharui dirinya bersamaan dengan kekuatan objektif yang kian kencang berlari. Ketika kita dengan semangat heroik menumbangkan Rezim orde baru dan melangkah sekian jauh memasuki reformasi, barulah kita sadar bahwa fondasi bangunan bangsa ini tida cukup kuat menopang badai globalisasi yang kian kencang, sampai-sampai generasi bangsa ini tidak menemukan kebanggan dirinya bahkan tidak mengenal dirinya sebagi anak bangsa. Ketika arus informasi dibuka dengan lebar, Televisi tidak hanya menjadi media talkshow yang kian mencerdaskan. Akan tetapi lewat televisi; kekerasan, budaya konsumeisme-hedonistic sampai perkelahian elite politik menjadi drama dan telenovela di ruang keluarga. masalah privasi para tokoh menjadi bumbu acara infotainment dan majalah gosip. akhirnya televisi menjelma menjadi kotak jiwa yang memaksa generasi melakukan apa yang ditampilkan, kita akhirnya hanya bisa menjadi generasi imitatif.
Melalui reproduksi narasi yang dilakukan oleh media massa dengan cepat memasuki ruang-ruang keluarga yang sangat privasi. Dalam konteks Indonesia, masyarakat konsumen tumbuh sebagai hasil kerjanya transformasi kapitalisme dengan menjamurnya pusat perbelanjaan seperti shopping mall, industri fashion, industri kuliner, industri gosip, kawasan huni mewah, iklan barang-barang mewah yang bermerek asing, makanan instan (fast food) dan masi banyak lagi. media telah menjadi arena dari sebuah konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi kebudayaan. yang kemudian melahirkan identitas-identitas baru. dari sini jugalah lahir kebudayaan massa yang cepat penuh perubahan, di tengah kebudayaan massa yang serba cepat itulah sejumlah ekspresi tentang nilai, pengetahuan, norma, dan simbol, menandai dinamika masyarakat kita. Yasraf Amir Piliang[5] inilah satu ruang dalam kebudayaan, yang didalamnya sebuah kedustaan, yang dikemas dengan kemasan yang menarik dapat berubah menjadi sebuah kebenaran, sebuah kepalsuan yang ditampilkan melalui teknik penampakan dan pencitraan yang sempurna, dapat tampak sebagai keaslian yang direonstruksi lewat kerumitan teknologi yang mencengangkan dan dapat diterima sebagai sebuah realitas.
Kenapa Mereka Bisa ?
Saya akan memulai dengan sekilas mereview aliran sungai kebangkitan negara-negara yang berhasil mengaliri sungai peradabannya melaui strategi kebudayaan yang panjang. Diantaranya [1] kebangkitan Eropa [2] Restorasi Meiji di Jepang. [3] dan yang sedang ngetrend di Indonesia Strategi Kebudayaan Korea.
Namun melalui tulisan singkat dan faktor kepamalasan penulis tulisan ini hanya mereview singkat kebangkitan Eropa untuk mengambil inspirasi dari perkembangan sejarah dan kebangkitannya. Setelah kemaharajaan Romawi diruntuhkan, mereka secara beramai-ramai memasuki ruang besar kegelapan. Hebatnya, mereka tak mau berlama-lama dalam kegelapan itu, mereka segera bermetamorfosa menjadi mata air yang mengaliri sungai-sungai peradaban di belahan dunia. mengapa hal ini bisa terjadi?
Pertama, kesadaran akan pentingnya penggalian kembali tradisi yang berkembang di Yunani, Arab dan Romawi dengan mengalih bahasakan naskah-naskah kuno. Ini berlangsung pada abad 11-13 yang dikenal dengan revitalisasi budaya dengan munculnya sastra, puisi, drama, bahasa serta azas hukum Yunani dan Romawi kuno. sekaligus menandai awal kebangkitan peradaban Eropa dari masa kegelapan. Kedua, adanya kesadaran untuk merekonstruksi institusi pendidikan. Semangat ini terlihat dengan munculnya gugusan Universitas di Eropa, seperti Universitas Bologna Italia, Sorbonne Perancis, Oxford dan Cambridge di Inggris dan Salamanca di spanyol.
Ketiga, proses revitalisasi kebudayaan dan pendidikan itulah bermuara pada kebangkitan Eropa yang kita kenal dengan Renaissance. Ia adalah peralihan era kegelapan menuju abad modern yang ditandai dengan perhatian kembali kesusastraan klasik serta diterapkannya dasar ilmu pengetahuan modern oleh gagasan cerdas seperi Leonardo Davinci, Raffaelo Santi dan lain sebagainya. Ini berlangsung sejak abad 14-16. Renaissance menginspirasi pencerahan manusia Eropa pada akal budi.
Keempat, penataan kembali sistem politik dan sosial. Bahwa, Revolusi ilmu pengetahuan tidak saja merubah pandangan tentang alam namun juga dalam memandang pranata-pranata sosialnya. Copernicus memberikan perlawanan terhadap dogma umum, lahirlah “kebebasan berpikir dan berpendapat, John Locke meletakan prinsip dasar kepemilikan individu, Montesquieu membangun konsep trias politika, Adam smith menerapkan doktrin ekonomi pasar bebas dan kompetisi. inspirasi ini kemudian di ikuti oleh Thomas Jefferson, Benjamin Frangklin, Voltaire dan seterusnya. Pemikiran tersebut pada akhirnya mendorong rangkaian revolusi di Inggris (1688), Amerika (1776), dan revolusi Perancis (1789), berlangsung dari abad ke-17-18. Dan seterusnya, mereka terus mengaliri sungai peradaban itu tak terkecuali Demokrasi yang dianggap sistem terbaik itu.
Dengan inspirasi diatas saya hendak bertanya sebagai anak bangsa, kenapa mereka bisa dan kemanakah sesungguhnya kapal besar Indonesia ini hendak menuju? Saya ber-ikhtiar bahwa, Kebangkitan bangsa ini akan terjadi jika pemimpin dan seluruh anak bangsa ini mengerti dan sadar akan identitas bangsa serta cita-cita perubahan yang diusungnya, seiring dengan pandangan tentang arah dunia yang semakin berlari kencang. Masa depan sangat tergantung seberapa jauh dan kuatnya tekad serta visi pemimpin untuk menahkodai bangsa ini keluar dari ratapan tangis dan duka yang tak kunjung usai. Negara bukanlah sebuah “preparat dilaboratorium” yang dapat diarahkan secara “trial and eror” tanpa visi yang jelas. Pemimpin sudah seharusnya menyiapkan visi sebelum amanah itu diberikan padanya, pun memang masa depan adalah gambaran yang belum utuh, namun itulah yang membedakan pemimpin dan yang bukan, Ia  adalah orang yang mampu melihat masa depan dengan jelas sebelum semuanya jelas bagi orang lain.

Bahan Bacaan:

Amir Piliang Yasraf, 2003. Hipersemiotika; Tafsir Cultural atas matinya Makna.      Jalasutra.Yogyakarta
Adisusilo Sutarjo, 2005. Sejarah Pemikiran Barat; Dari yang klasik sampai yang Modern.
            Universitas Sanata Darma. Yogyakarta.

Russell Bertand, 2007. Sejarah filsafat barat; Kaitan dengan kondisi sosio-politik Zaman kuno hingga
            sekarang, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 

 Storey John, 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop; Memetakan Lanscap Konseptual Cultural studies,
            Penerbit Qalam, Yogyakarta.

Majalah Tarbawi Edisi 226 Th. 11 22 April 2010




[1]  Soemarno Soedarsono, Karakter Bangsa dari Gelap Menuju Terang, Jakarta 2010
[2] Membangun Bangsa yang berkarakter [makalah disampaikan pada Simposium Nasional Restorasi indonesia] NASDEM  Jakarta, 3/06/2010.
[3] Karakter disebut juga watak (Kamus besar Bahasa Indonesia),dalam arti sifat bathin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran,perilaku dan tabiat.
[4] Prof. Dr. Conni R. Semiawan. Membangun Bangsa yang berkarakter [makalah disampaikan pada Simposium Nasional Restorasi indonesia] NASDEM  Jakarta, 3/06/2010.
[5] Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas matinya Makna (h.27)

Tidak ada komentar: