Selasa, 31 Desember 2013

SITUASI NASIONAL

Kita Masih Terjajah, SBY-JK Masih Konsisten Sebagai Mandor.

Maret 2006-tidak sampai 24 jam sebelum Menlu AS, Condoleezza Rice, mendarat di Jakarta, ExxonMobil - diumumkan sebagai kepala operator eksplorasi Cepu. Korporasi yang dikabarkan ‘membantu’ pendanaan kampanye George W. Bush sebesar 2,8 juta dollar AS untuk terpilih sebagai presiden pada tahun 2004, telah disahkan oleh rejim SBY-JK sebagai pemilik kekayaan minyak bumi Rakyat Indonesia sebesar 2,6 miliar barel (atau mendekati separuh cadangan minyak Indonesia seluruhnya) . Bulan September 2006, giliran salah satu komprador terbesar bagi kaum imperialisme yang sekaligus menjabat sebagai RI 2, Jusuf Kalla, yang ‘melawat’ ke AS untuk menemui tuannya- Penguasa AS dan Vice President ExxonMobil.
Agenda sejati mereka hanya satu: kelanjutan operasi ExxonMobil di ladang gas Natuna - sumber gas terbesar bagi ExxonMobil dan juga Dunia. Setelah menimbulkan suara-suara sumbang menyangkut ketidak adilan kontrak bagi hasil Natuna selama puluhan tahun, Bush pun dirasa perlu berkunjung ke Indonesia untuk memastikan agar ‘semuanya baik-baik saja’. Seorang mandor yang baik tentu akan patuh kepada tuannya, begitupun SBY-JK. Exxon hanya salah satu dari puluhan MNC pertambangan (migas dan mineral) yang bercokol di tanah air.
Seminggu setelah dikunjungi Bush, SBY disertai beberapa menteri berangkat ke Jepang untuk mengunjungi tuan mereka yang lainnya. Di negara yang 62 korporasinya menguasai 40,7% bisnis global dan 18,3% laba global ini , mereka menemui tuan-tuannya dari tujuh perusahaan dan organisasi perdagangan di Jepang . Agenda ‘penting’ mereka pun tak jauh beda dari sebelum-sebelumnya: kepastian ekspor gas dari Indonesia untuk korporasi-korporasi Jepang. Hasil pertemuan tersebut pun telah dapat diterka sebelumnya, RI menjamin pasokan gas untuk Jepang sampai tahun 2010 dan 2011 . Penanda tanganan kontrak ini dilakukan tanpa pernah menyesali kolapsnya beberapa industri pupuk di tanah air akibat kekurangan pasokan gas, ataupun langkanya gas di tanah air untuk suplai sektor energi (listrik), manufaktur, dan rumah tangga. Saking ‘bernafsu’nya untuk mengekspor gas, pemerintah akhirnya ‘terlanjur’ menandatangani beleid yang menyebutkan bahwa 75% hasil produksi gas kita haruslah diekspor- sisanya baru untuk konsumsi domestik. Akibatnya jelas, Pertamina lagi-lagi harus memenuhi kebutuhan gasnya dengan mengimpor dari Oman dan Qatar .
Pertamina, sebagai industri ekstraktif migas milik negara, sampai saat ini sangat lah lemah secara posisi penguasaan sumber daya alam.Tabel di bawah mungkin dapat merepresentasikan kenyataan tersebut.


Kemampuan Pertamina untuk memproduksi minyak bumi hanya sebesar 0,04% (43,6 ribu barel dibagi 1,146 juta barel) dari total keseluruhan produksi minyak bumi Indonesia. Alih-alih mendesak adanya alih teknologi dalam pengelolaan kekayaan migas di hulu (up stream), untuk memperkuat industri migas nasional, pemerintah malahan mensahkan UU Migas No. 22 tahun 2001 yang mengebiri wewenangnya dalam pengelolaan industri hilir (down stream). Janganlah heran jika harga BBM harus dinaikkan dua kali tahun 2005 kemarin (Maret dan Oktober). Bukanlah suatu kebetulan jika SPBU asing pertama milik SHELL mulai dioperasikan sebulan setelah kenaikan harga BBM Oktober 2005 . Alasan lemahnya kemampuan (baca: teknologi) manusia Indonesia untuk mengelola ini lah yang sangat sering digunakan pemerintah untuk menghindar dari program sejati kita: nasionalisasi industri pertambangan. Argumen ini bersifat paradoksial mengingat minimnya perhatian pemerintah selama ini terhadap sektor peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia (baca: pendidikan dan kesehatan). Sikap pro imperialis secara gamblang diucapkan oleh SBY pidatonya di pembukaan Forum Investasi regional Indonesia 2006 di Jakarta tanggal 2 November 2006 kemarin yang mengungkapkan bahwa rejimnya tidak akan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing . Hal ini membuktikan rejim SBY-JK dengan sangat ‘tulus’ menjalankan tugasnya sebagai mandor kaum imperialis (dalam mengeruk kekayaan alam Indonesia).
Dibayarnya sisa utang IMF oleh antek Berkeley sekaligus arsitek keuangan RI, Sri Mulyani, sebesar 6,95 miliar dolar AS (69,5 triliun rupiah) dalam dua tahap dilakukan untuk mengilusi massa Rakyat agar seakan-akan Indonesia telah berhasil lepas dari cengkeraman IMF. Penggembar-gemboran pelunasan utang IMF tersebut sangat sering dirias dengan sentimen kehormatan bangsa (yang semu) ataupun kelegaan berlebihan (yang salah kaprah, mengingat jumlah utang pada IMF hanya 5,2% dari total keseluruhan utang) oleh propagandis-propagandis (baca: ekonom-ekonom) neoliberal di dalam negeri. Pernyataan Sri Mulyani, tentang kritikannya terhadap kebijakan-kebijakan titipan IMF dan Bank Dunia di banyak negara berkembang selama ini, di ‘drama’ yang mempertemukan Bank Dunia dan IMF 19 September 2006 di Singapura pun perlu dipertanyakan lagi. Mantan petinggi IMF Asia ini seharusnya sadar bahwa esensi pengucuran utang luar negeri khas IMF adalah pemaksaan resep penyesuaian struktural ekonomi (Structural Adjustment Program/SAP) model neoliberal di negara kreditur. Suatu resep (baca: program) yang memaksa negara kreditur menerapkan kebijakan-kebijakan neoliberal di negaranya masing-masing- yang konsekuensinya adalah peningkatan akumulasi kemiskinan di negara bersangkutan. Setidaknya, jika memang konsisten dengan kritikan pada resep IMF selama ini, langkah yang paling konkret paska pelunasan utang seharusnya adalah mencabut kembali seluruh kebijakan pemerintah yang senafas dengan SAP- tidak hanya sekedar meluncurkan kritik yang membangun terhadap IMF ataupun Bank Dunia.
Ilusi ini harus segera disingkap. Yang harus dilakukan sebenarnya bukanlah pelunasan utang ataupun penyicilan utang (beserta pembayaran bunganya), melainkan penghapusan utang najis (odious debt) . Sebagai gambaran betapa tersiksanya kita oleh kewajiban pelunasan utang , cicilan pokok dan bunga uutang luar negeri setara dengan 30-40% dari total pendapatan pajak (APBN 2005). Jika ditambahkan dengan beban bunga hutang obligasi rekapitalisasi perbankan, yang sekarang ini melalui program privatisasi/divestasi (ini juga kebijakan yang muncul sebagai syarat pencairan hutang) dimana 40% bank nasional sudah dikuasai asing, maka beban pembayaran utang setiap tahunnya menghabiskan anggaran setara lebih dari setengah pendapatan pajak nasional. Karena itu sangatlah tepat thesis yang mengatakan bahwa utang merupakan instrumen utama yang digunakan imperialis untuk mempertahankan akses bahan baku murah di negara lain, terutama negara-negara berkembang. Untuk menutupi hutangnya kepada negara-negara maju, negara-negara berkembang tersebut saling berlomba memacu ekspornya ke negara- negara maju. Akibatnya terjadi kejenuhan pasar, sehingga harga komoditas tersebut semakin tertekan yang berdampak pada penurunan pendapatan produsen (misalnya, petani) di negara berkembang. Sementara negara-negara maju yang terletak di belahan utara menikmati surplus dan produk harga murah dari negara berkembang.
Sikap yang ditunjukkan rejim, terus membiarkan kaum imperialis/penjajah berkuasa atas kepentingan utama mereka di tanah kita: kekayaan energi (migas dan mineral) dengan alasan kita harus mentaati kontrak kerja sama yang telah dibuat (kepercayaan) ataupun belum saatnya manusia Indonesia mengelola kekayaan alamnya sendiri- karena belum mampu; terus menerapkan kebijakan-kebijakan neoliberalisme dengan argumen utama: krisis anggaran- yang tak lain disebabkan oleh besarnya pembayaran utang dan obligasi perbankan setiap tahunnya (tapi tidak pernah berniat untuk menolak membayarnya); dan kesemua itu tetap konsisten dilakukan di tengah kemiskinan dan penderitaan massa Rakyat; tidak lah lain dari pada suatu sikap sejati rejim SBY-JK di balik topeng pseudo-populis dan moralisnya: konsisten memposisikan diri mereka sebagai agen (baca: mandor) imperialisme yang hanya menjadikan (baca: mengorbankan) Rakyat sebagai kuli di negerinya sendiri.

Membaiknya Makro Ekonomi : Penghancuran dan Penggadaian Industri Nasional
Angka-angka indikator makro ekonomi negara ini mulai menunjukkan arah yang positif- itu komentar ekonom-ekonom borjuis di tanah air. Pernyataan barusan bukannya tanpa dasar, karena datanya bisa disaksikan sendiri pada tabel di bawah paragraf ini. Baru sampai bulan Agustus, kecenderungan positif indikator makro ekonomi sudah mulai bergejala: angka inflasi cenderung menurun , nilai ekspor meningkat , suku bunga mulai diturunkan , rupiah cenderung menguat dan stabil, sampai cadangan devisa mencapai tingkat tertinggi . Namun, di balik keindahan data-data makro ekonomi kita, nyatanya sektor riil masih berjalan tertatih-tatih dan kemiskinan maupun pengangguran malah semakin merajarela. Beberapa ekonom borjuis yang lebih kritis bahkan memberikan penilaian bahwa kondisi sektor riil yang terutama diwakili oleh industri manufaktur kini sudah dalam menuju deindustrialisasi. Penurunan kinerja industri manufaktur di BEJ pada semester I 2006 menjadi bukti nyata bahwa terpuruknya sektor riil nasional bukan lagi sekedar wacana belaka .

Ironisnya, di saat sektor riil tertimpa beban luar biasa berat, sektor moneter ternyata tidak merasakan hal yang sama. Industri perbankan secara konsisten terus meningkat labanya dari Rp 1,5 triliun pada Januari 2006 menjadi Rp 15,8 triliun pada Mei 2006. Kontradiksi sektor riil-moneter tersebut bersumber dari kebijakan suku bunga tinggi dari Bank Indonesia (BI). Kebijakan suku bunga tinggi diyakini penentu kebijakan akan membuat tekanan inflasi mereda. Namun, tingginya BI rate, yang sejak diperkenalkan pertama kali pada 5 Juli 2005 telah mengalami lima kali kenaikan, membuat sektor riil lesu, perusahaan mengalami kebangkrutan, produksi terhenti, dan pengangguran meledak. Tingginya BI rate justru membuat sektor finansial terus menikmati keuntungan berlimpah tanpa kerja. Per Mei 2006, dana perbankan yang 'menganggur' tidak disalurkan ke sektor riil mencapai Rp 393 triliun, yang kemudian ditanam kembali di sektor finansial yaitu di SBI, SUN, dan instrumen lain . Keuntungan besar-besaran di sektor perbankan merupakan suatu kenyataan yang sangat pahit mengingat sebagian besar saham perbankan nasional dikuasai Temasek dan Farallon. Terdapat kesalah kaprahan yang disengaja oleh pemerintah dalam memanajemen perekonomian nasional- sektor keuangan yang dalam aktivitasnya seharusnya digunakan sebagai pendukung sektor riil malah diputar balikkan: sektor riil-lah yang menentukan imbal hasil di pasar keuangan.
Ciri utama deindustrialisasi (hancurnya sektor riil) adalah ditutupnya industri-industri yang mengakibatkan PHK massal. Data PDB yang dipublikasikan BPS menunjukkan pertumbuhan industri manufaktur non-migas, yang sampai saat ini menyerap sekitar 11 juta angkatan kerja, cenderung menurun hingga 3,36 persen pada triwulan II 2006 . Angka ini paling rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya. Bahkan, jika dirinci terdapat industri yang tumbuh negatif seperti industri perkayuan, kertas dan barang cetakan, semen serta industri logam dasar. Akibatnya jumlah perusahaan, khususnya industri padat karya, makin berkurang. Beberapa faktor utama penyebab terjadinya deindustrialisasi adalah dinaikkannya harga BBM , menurunnya pasokan energi , dibuka lebar-lebarnya keran impor barang konsumsi , dan diberlakukannya kebijakan suku bunga tinggi oleh BI . Sedangkan hal klasik yang semakin memperburuk kondisi ini adalah soal maraknya pungutan liar, upeti, dan biaya ekstra dalam pengurusan investasi dan perdagangan dalam industri. Dari hasil survei yang dilakukan Mudrajad Kuncoro , alasan membayar pungli 55 persen dinyatakan untuk mempermudah jalan, 18 persen upeti kepada pejabat pemerintah daerah, dan 13 persen alasan keamanan. Dari hasil penelitian juga ditemukan, 24 persen penerima biaya ekstra semacam itu adalah polisi, 21 persen bea cukai, tiga persen departemen perhubungan, dan tiga persen pemda.
Dapat disimpulkan bahwa seluruh penyebab terjadinya deindustrialisasi di Indonesia adalah disengaja. Rejim SBY-JK sengaja menghancurkan industri nasional untuk semakin memudahkan penerapan kebijakan neoliberal. Dengan ditutupnya banyak industri, pemerintah akan bisa beralasan untuk memelas kepada pemodal asing untuk mau berinvestasi di Negara kita. Dengan banyaknya PHK akibat deindustrialisasi, pemerintah juga dapat membenarkan terjadinya praktek outsourcing dan buruh kontrak- yang disisi lain buruh pun telah kehilangan daya tawarnya akibat banyaknya pesaing (sesama pengangguran).

Salah satu contoh deindustrialisasi yang ‘disengaja secara blak-blakan’ oleh pemerintah adalah industri kerajinan rotan di awal tahun 2006 yang selama ini menjadi market-leader di pasaran internasional. Sekitar 70 sampai 80 persen pangsa pasar kerajinan rotan dunia didominasi rotan hasil olahan dari Indonesia. Mirip dengan gas, kayu rotan yang merupakan bahan baku utama industri ini malah diprioritaskan pemerintah untuk diekspor ke Vietnam dan Cina . Sebagai gambaran nyata terjadinya deindustrialisasi adalah beberapa penutupan perusahaan yang berhasil dihimpun periode Agustus-November 2006: Sebanyak 1.123 karyawan pabrik ban PT Mega Safe Tyre Industri di Semarang, Jawa Tengah, terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK. “(Kompas, 2 Agustus 2006). PT Ishizuka Maspion Indonesia terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 380 karyawannya. Sekitar 50an perusahaan Maspion lainnya kini pun terancam (Kompas, 21 September 2006). Ditutupnya dua pabrik sepatu PMA Korea yakni PT Dong Joe Indonesia dan PT Spotec yang berdampak 10 ribu karyawan kehilangan pekerjaan (REPUBLIKA Senin, 27 Nopember 2006), dan lain-lain.
Rejim SBY-JK pun tidak jauh berbeda dari rejim Mega-Hamzah dalam penampakan watak neoliberalnya. Di tengah kekeruhan suasana (pengangguran, kemiskinan, kriminalitas) akibat berjalannya proses deindustrialisasi, rejim malahan ‘enak-enakan’ berencana menerapkan salah satu resep neoliberal: menggadaikan (baca: privatisasi) industri-industri nasional kita ke kaum imperialis. Tahun 2007 boleh dibilang, akan menjadi tahun privatisasi beberapa (sisa) industri perbankan nasional dan minimal 14 BUMN. Di saat itulah pemerintah akan melepaskan tanggung jawabnya dan merelakan terbangnya kapital (capital flight) dari Bank Negara Indonesia, Bank Mandiri, dan Bank Tabungan Negara. Sedangkan beberapa nama BUMN yang sudah pasti akan dijual adalah PT Jasa Marga, PT Adhi Karya, PT Wijaya Karya, PT Krakatau Steel, PT INTI, PT Cambrics Primissima, PT Askrindo, PT Rekayasa Industri, PT Industri Telekomunikasi Indonesia, 3 industri kertas nasional dan PT Indonesia Power .
Menteri Negara BUMN, yang juga mantan Direktur Keuangan Medco, mengungkapkan alasan privatisasi BUMN hanyalah untuk mencapai target bantuan dana ke APBN sebesar 3,3 triliun rupiah. Semua Industri Perbankan dan BUMN tersebut, katanya, akan semakin mudah dijual mengingat, argumentasinya pula, semakin menguatnya makro ekonomi Indonesia. Alasan yang sungguh tak dapat diterima akal sehat. Jika hanya persoalan membantu pendanaan APBN, PT Jasa Marga sendiri saja, sampai akhir tahun ini telah membukukan pendapatan 2,3 triliun rupiah . Pemerintah kita (yang mandor) sungguh-sungguh bermental budak. Bukannya membangun industri nasional yang masif dan massal (menyerap banyak tenaga kerja) untuk mengatasi krisis deindustrialisasi, rejim SBY-JK malah menjual industri nasional yang sudah ada . Padahal mayoritas BUMN yang akan diprivatisasi adalah industri vital yang kedepannya dapat menjadi fondasi industrialisasi nasional.
Semakin yakinlah di benak kita bahwa angka-angka indah ekonomi makro hanyalah ilusi sama sekali tidak berkaitan dengan tingkat kesejahteraan rakyat banyak. Demi sederet angka-angka indah, kesejahteraan rakyat dikorbankan (deindustrialisasi). Angka-angka itu pun malahan dijadikan legitimasi bagi rejim untuk melelang industri-industri vital milik negara (industri nasional) kepada kaum imperialis. Lengkap sudah-Rejim SBY-JK benar-benar pantas dinobatkan sebagai agen neoliberal no.1 di Indonesia.
Situasi Perlawanan Rakyat
Secara prinsipil, tidak ada perubahan dari analisa kita sebelumnya, tetapi ada perkembangan-perkembangan ekonomi politik yang dapat membuka jalan bagi rakyat untuk menemukan takdir sejarahnya. Popularitas rejim SBY-JK semakin menurun dihadapan rakyat. Kebijakan-kebijakan karitatif, seperti BLT, Gakin dll pada kenyataannya tak mampu meredam perlawanan rakyat. Begitu juga kebijakan-kebijakan lainnya, seperti revisi UUK 13, beras impor dll, mendapatkan perlawanan dari kaum buruh dan tani serta borjuis kecil progresif. Struktur birokrasi rejim SBY-JK yang tidak solid dan korup semakin membuka bobrok rejim ini. Ketidakpercayaan rakyat terhadap rejim SBY-Jk dan struktur birokrasinya ini sudah termanifestasi dalam bentuk-bentuk perlawanan yang radikal dan sporadis. Ditambah banyaknya bencana alam yang terjadi dua tahun belakangan ini yang tidak dapat ditangani oleh rejim SBY-JK dan jajaran birokrasinya semakin memperburuk popularitas SBY-JK. Walaupun demikian (banyak dan luasnya perlawanan rakyat), tak mampu menahan laju serangan imperialisme; penjualan blok-blok tambang, privatisasi perusahan-perusahan negara, sistem out-shoursing, penguasaan pasar dll terus berjalan, tak terusik. Begitu juga dengan jeratan hutang luar negeri yang terus menggrogoti keuangan negara lancar keluar dari APBN. Imperialisme betul-betul mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokoknya di negeri ini.
Disisi lain, perkembangan konstelasi politik borjuasi nasional dalam menyikapi penetrasi imperialisme terus terpolarisasi. Polarisasi sikap dan posisi politik borjuasi nasional akan terus mengkerucut sesuai dengan kadar politiknya masing-masing. Dan secara umum sampai sekarang terdapat beberapa posisi dan sikap;
• Partai-partai borjuis di parlemen: secara umum dapat disimpulkan, bahwa semua partai di parlemen adalah pendukung imperialisme. Secara politik PDI-P saat ini menempatkan dirinya sebagai partai oposisi terhadap rejim SBY-JK. Dan dalam sikap-sikap politik tertentu, sepertinya PDI-P menunjukan sikap anti imperialis; menolak impor beras dll. Real politiknya, bentuk-bentuk penolakan mereka hanya mencari panggung untuk menaikkan popularitas yang semakin menurun. Sebab pada saat mereka berkuasa, kebijakan sama juga diberlakukan. Begitu juga dengan PKS, yang kencang menyerang Amerika, bahkan melakukan mobilisasi ribuan massanya untuk melakukan solidaritas atas Palestina. Tapi, di parlemen, PKS selalu mengamini kebijakan-kebijakan ekonomi SBY-JK yang merupakan perpanjangan tangan dari imperialisme Amerika. Sudah dapat dipastikan, segala bentuk manuver politik yang dilakukan partai-partai tersebut, dimuarakan dalam kepentingan pemilu 2009. Dalam kepentingan itu juga, beberapa partai di parlemen (PDI-P, Golkar dan PKS) mencoba menjegal partai-partai baru untuk tidak terlibat dalam pemilu 2009, yaitu dengan berupaya menaikkan syarat-syarat formal peserta pemilu 2009. Secara tak langsung, ini adalah sikap anti demokrasi yang mereka ditunjukkan. Upaya untuk menaikkan syarat formal peserta pemilu 2009 terutama ditunjukkan PDI-P, yang sudah pasti akan menurun jumlah suaranya di pemilu 2009 karena perpecahan-perpecahan di internalnya. Begitu juga dengan PKS, yang sangat berkepentingan partai-partai islam lainnya bersatu dibawah benderanya.
• Borjuis Konservatif dan Moderat; sikap anti imperialisme justru ditunjukan oleh para pensiunan tentara (Wiranto, Tri Sutrisno dll). Sentimen nasionalisme mereka jadikan sebagai barang dagangan untuk menaikkan pamor dan investasi politik mereka, sekaligus sebagai upaya mengubur dosa-dosa lamanya. Posisi mereka yang masih diterima luas (berpengaruh) dikalangan tentara aktif, menjadikan mereka memiliki bargain (posisi politik) yang kuat di mata borjuasi lainnya, maka tak heran bila banyak borjuis nasional lainnya memberikan dukungan politik. Sikap politik dari para pensiunan tentara yang telah muncul dan mendapat dukungan luas dari borjuis nasional lainnya adalah kembali ke UUD 45 dan Pancasila. Walau demikian, sejauh ini belum ada tindakan konfrontatif yang mereka lakukan. Berbeda dengan Amin Rais, yang cenderung memiliki keberanian dengan menunjukan sikap konfrotatif (karena sudah tidak memiliki lagi kaki di PAN) dengan rejim SBY-JK, terutama dalam kasus-kasus pertambangan. Tentu saja, baik para pensiunan tentara dan Amin Rais dapat dipastikan akan maju kembali dalam pemilu 2009 baik dengan alat-alat politik lama ataupun baru.
• Kaum Reaksioner: Kebrobokan struktur birokrasi SBY-JK mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh kaum reaksioner. Milisi-milisi sipil berkembang biak dengan cepat, juga aturan-aturan yang anti demokrasi (syariat islam) yang dijadikan peraturan resmi dalam bentuk perda sudah diterapkan dan dijalankan dibeberapa daerah, inilah kemenangan kaum reaksioner. PKS, sebagai salah satu unsur kaum reaksioner yang tampil legal, betul-betul mampu membuka ruang bagi kaum reaksioner lainnya untuk terus melakukan tindakan-tindakan refresif, seperti penyerangan Ahmadiyah, Lia Awiludin dan beberapa tempat ibadah telah menjadi korbannya, sebuah ancaman serius bagi demokrasi. Sentimen anti imperialisme (terutama Amerika) di kalangan kaum reaksionerpun cukup kuat, terutama Hizbutaher dan beberapa ormas lainnya. Tentu saja kadar anti imperialisme dan solusi yang mereka berikan bukan berdasarkan kesadaran programatik, tetapi sentimen keagamaan, hal ini bisa dilihat dari mobilisasi-mobilisasi yang mereka lakukan. Dari pengalaman pemilu 2004 tidak semua kaum reaksioner dapat bersatu dalam sebuah partai pemilu, begitu juga di pemilu 2009 nanti, kaum reaksioner tetap akan terpecah-pecah dalam beberapa partai islam, kecuali Hizbutaher yang memiliki garis politik anti parlemen dalam perjuangannya
• Kelompok/golongan Minoritas: Kebangkitan kaum reaksioner menimbulkan persoalan tersendiri bagi kelompok/golongan minoritas ini. Beberapa konsolidasi politik telah mereka lakukan sebagai upaya untuk mencegah meluasnya kekuatan kaum reaksioner, termasuk memaksimalkan Forum Lintas Agama. Isu utama yang mereka usung; demokrasi (Prularisme), isu ini mampu menyatukan beberapa unsur kaum minoritas. Secara politik, belum ada sikap tegas mereka terhadap penetrasi imperialisme di Indonesia, tetapi sebagian dari kelompok ini tak ada penolakkan terhadap program Tri Panji Persatuan Nasional. Dalam menyikapi pemilu 2009, beberapa tokohnya telah membuat alat politiknya sendiri; PKR, yang memiliki basis di jaringan Gereja Rakyat dan sebagian basis PDS. Akan tetapi belum dapat dikatakan bahwa PKR ini adalah refresentatif dari kaum minoritas, karena secara mayoritas kekuatan mereka masih tersebar dalam partai-partai sekuler, seperti PAN, PKB, PDI-P dan Golkar serta beberapa partai kecil
• Borjuis kecil: Yang banyak tergabung dalam LSM ini semakin menunjukan watak sejatinya; Oportunis. Perkembangan LSM saat ini sangat pesat, hampir disetiap kota/kabupaten dapat dipastikan berdiri sebuah LSM. Baik yang memiliki jaringan dengan nasional, internasional ataupun hanya LSM Lokal. Secara umum, banyak LSM yang menyatakan anti imperialisme. Akan tetapi, dalam real politiknya, posisi-posisi politik yang muncul justru berbasiskan pada kepentingan LSM tersebut, sesuai dengan kucuran dana yang mereka peroleh dari fundingnya masing-masing. Beberapa tokoh LSM yang memiliki kesadaran politik yang lebih maju, membangun sebuah partai politik (PPR). Akan tetapi, dukungan dari LSM-LSM lainnya sangatlah minim. Mereka memilih tetap bermain dengan alatnya masing-masing karena jauh lebih menguntungkan. Dalam pengalaman pemilu 2004 lalu, banyak tokoh-tokoh LSM ini melakukan bloking dengan partai-partai besar untuk semakin menguatkan posisi politik mereka.
Kaum gerakan sendiri masih terfragmentasi dan disibukkan dengan kemunduran-kemunduran organisasinya akibat penetrasi imperalisme, terutama di sektor buruh dan tani. Perlawanan rakyat yang terus meluas ini tak di iringi dengan kesadaran pembangunan front di kaum gerakan. Sehingga perlawanan-perlawanan tersebut tidak dapat menjadi panggung (mimbar/ajang) untuk memperluas kesadaran maju massa maupun memunculkan tokoh-tokoh dari kaum gerakan sendiri. Penerimaan kaum gerakan terhadap program Tripanji sendiri masih sangat lemah. Secara programatik memang tidak ada penolakkan, akan tetapi dalam tindakan-tindakan politiknya (baik aksi ataupun bentuk-bentuk propaganda lainnya) masih berdasarkan kasus-kasus sektoral atau teritorial, dan tidak ada arah politik terhadap program Tripanji. Begitu juga penerimaan di media-media borjuis, media massa borjuis masih belum dapat menilai keuntungan bagi kepentingan (modal dan politik) mereka, sehingga pemberitaan terhadap program Tripanji masih sangat minim. Bahkan beberapa media, seringkali memberitakan aksi-aksi radikal sebagai black propaganda untuk menyudutkan gerakan rakyat sendiri. Berikut perkembangan gerakan rakyat saat ini:
• Hancurnya industri nasional dan diberlakukannya sistem buruh kontrak menjadikan serikat-serikat buruh kehilangan massanya. Serikat-serikat buruh di sibukkan dengan kerja-kerja advokasi anggotanya yang terus menerus di ancam PHK dan kemerosotan tarap hidupnya. Hanya pada momentum-momentum politik tertentu saja (terutama dalam merespon kasusnya), kaum buruh dapat termobilisasi. Walaupun demikian, ada kemajuan yang cukup signifikan dalam aspek persatuan kaum buruh dan penerimaan terhadap program Tri Panji Persatuan Nasional dalam sebuah wadah front (ABM).
• Lain halnya dengan kaum tani, kemunduran serikat-serikat tani saat ini tak lepas dari belum adanya kesatuan pandangan dikalangan para aktifis serikat tani dan adanya intervensi dari LSM-LSM yang berkepentingan menjadikan kaum tani sebagai “massa dagangannya” serta kekalahan-kekalahan aksi perebutan tanah yang dengan sendirinya menghancurkan serikat-serikat tani tersebut. Posisi kaum tani yang dihancurkan oleh penetrasi imperialisme ini (karena kekalahan modal, tekhnologi dan sistem pertanian), menempatkan kaum tani sebagai kaum urban di perkotaan yang bekerja secara musiman, hal ini pula yang menyulitkan pengorganisasian kaum tani.
• Gerakan mahasiswa sendiri yang selama ini menjadi sektor termaju dalam penerimaan kesadaran politik, terpukul mundur jauh kebelakang. Gerakan mahasiswa terjebak dengan kepentingan-kepentingan, dan belum mampu keluar dari politik para seniornya (politik ke’i), ditambah dengan adanya perubahan sistem pendidikan yang meminimalisir mahasiswa bergabung dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan (ekstra maupun intra), sehingga menyulitkan organ-organ mahasiswa melakukan pembasisan. Kemunduran gerakan mahasiswa ini dapat dilihat dari keberadaan organisasi-organisasi mahasiswa 98 yang hanya tinggal papan nama, tak ada lagi kemampuan mobilisasi.
• Berbeda dengan kaum miskin kota, yang terus terorganisasikan kedalam serikat-serikat ataupun paguyuban-paguyuban berdasarkan sektor (pekerjaan) ataupun teritori. Setelah UPC kehilangan kepercayaan dari massanya, banyak serikat/paguyuban kaum miskin kota yang berdiri sendiri dan berjuang dengan berbasiskan pada kasusnya saja. Dan banyak dari serikat/paguyuban tersebut mensubordinasikan dirinya kedalam partai-partai besar atau kelompok-kelompok tertentu sebagai taktik untuk melindungi dirinya. Selain SRMK, dapat dikatakan saat ini tak ada lagi serikat/paguyuban yang berjuang diluar kasusnya, kecuali serikat-serikat pengamen yang (biasanya) intergal pengorganisirannya dengan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus.
• Sedangkan gerakan kebudayaan masih berkutat dalam persoalannya sendiri (berkarya baik dalam bentuk individual ataupun komunitas) yang memiliki kecenderungan ekslusif, walaupun begitu, banyak karya-karyanya yang memiliki keberpihakan terhadap rakyat.
• Begitu juga dengan gerakan perempuan yang masih berkutat dengan persoalan-persoalan gender dan KDRT. Para aktifis perempuan masih belum mau melepaskan dirinya dari baju ke-LSM-annya dalam membangun gerakan perempuan, hal ini mengakibatkan sangat minim terbangunnya organisasi-organisasi perempuan. Dari pengalaman pemilu 2004, di keseluruhan sektor, sikap dan posisi terhadap pemilu justru menguat di sektor perempuan (walau tidak berbentuk dalam sebuah gerakan) terutama dengan isu kuota 30%.

Tidak ada komentar: