Selasa, 31 Desember 2013

Senjakala Kesadaran


(Oleh Herman Oesman)

MUNGKINKAH kita memiliki watak sebagai pemenang dan pecundang secara bergantian dalam setiap pertarungan apa saja, termasuk kekuasaan/politik? Watak pemenang, mungkin sering kita jumpai, lakoni dan bahkan perjuangkan. Sementara watak pecundang, kiranya masih jarang, mungkin juga sama sekali tidak pernah kita temukan. Bahkan watak pecundang kita ekspresikan pada sikap-sikap yang tidak santun, menggiringnya pada wilayah-wilayah menghalalkan segala cara, memanipulasi akal sehat dan menggerogoti naluriah berkompetisi, menyeret seluruh wacana-wacana penggugah, seperti; demokrasi, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya pada pentas pertarungan itu. Memompa seluruh energi, sumber daya dan pikiran untuk menghadang agar kita tidak jadi pecundang. Kita menjadi begitu ”ketakutan” dan bahkan tidak toleran untuk bertarung dengan segala kekurangan yang kita miliki. Sudah matikah kesadaran kita untuk menerima kekalahan dan mengakui kelebihan orang lain?

Pertarungan dalam wilayah apapun, termasuk politik, selalu mengisyaratkan tafsiran makna duaan (oposisi binner), kalah atau menang. Pada tafsiran itulah, pertarungan yang tampil mestinya adalah pertarungan kesadaran. Dalam pandangan para sosiolog, teori tentang kemajuan selalu menyangkut dua fokus perkembangan: pertama, perkembangan dalam struktur atas atau kesadaran manusia tentang diri sendiri dan alam sekelilingnya dan kedua, perkembangan struktur bawah atau kondisi sosial/material dalam kehidupan manusia.

Antara kedua fokus ini, yakni struktur atas (kesadaran manusia) dan struktur bawah (kondisi sosial/material) kadang memunculkan benturan keras yang mematikan asumsi-asumsi epistemologi dan akal sehat kemanusiaan kita. Dan yang terjadi adalah hitungan-hitungan material. Kita pun memaksakan diri ketika struktur atas (kesadaran) lumpuh dihimpit struktur bawah (material). Pertimbangan-pertimbangan material lebih kita dahulukan ketimbang akal sehat dan kesadaran.

Memang, tak bisa dipungkiri, materialisme sebagai anak kandung kapitalisme telah merajalela dalam semua lini kehidupan manusia. Dan bila mengikuti paradigma Weberian, sudah hampir menjadi suatu rumus kehidupan, bahwa siapa pun, baik individu maupun masyarakat akan selalu menginginkan keadaan yang selalu lebih baik dan lebih maju dibandingkan sebelumnya.

Faktor penggerak kemajuan berkaitan dengan perkembangan kemampuan dan potensi para petarung (elit) dalam menghimpun faktor-faktor produksi dan syarat-syarat sosial, ekonomi, dan budayanya untuk mencapai pertumbuhan signifikan yang dapat menyeimbangkan dua faktor yang disebut di atas (kesadaran dan material). Dalam konteks inilah, marilah kita membuat daftar apa saja yang telah dihimpun para petarung dalam mendorong kemajuan daerah yang dipimpinnya. Tidak salah bila pada tataran ini muncul subyektivisme.

Karena yang muncul subyektivisme, berarti yang mengemuka selalu merasa diri paling benar sekalipun apa yang dilakukan secara obyektif mungkin mengidap kekeliruan atau sama sekali tidak menampakkan kemajuan. Sisanya dianggap salah, menyimpang, dan lain-lain. Subyektivitas itu pun lalu melebar menjadi realitas sosial yang diterima oleh mereka yang se-pikiran, se-ideologi dan mungkin juga kepentingan yang sama dan di-amini. Dari subyektivitas lalu bergeser menjadi realitas, dan akhirnya dipaksakan untuk diterima masyarakat. Lagi-lagi, kita alpa pada etika berkompetisi, yaitu menjunjung sikap toleransi sebagai salah satu elemen mendasar dari demokrasi.

Tak salah bila Robert A. Dahl menyindir, tak terbayangkan sebuah demokrasi bisa berjalan apabila persaingan dan partisipasi politik yang tinggi tidak disertai dengan toleransi. Jadi, partisipasi harus disertai sikap toleransi untuk membuat demokrasi bisa berjalan dan stabil.

Alhasil, akhir-akhir ini di Kabupaten/Kota se-Maluku Utara kita tengah menyaksikan pentas pengujian demokrasi melalui elit atau mereka yang punya hak berkompetisi mulai pasang kuda-kuda dalam wilayah pertarungan. Lagi-lagi yang harus diperhatikan adalah komponen penting dalam demokrasi, yakni civil liberty (kebebasan warga), yang harus dibangun dengan baik.

Civil liberty merupakan pengakuan atas hak-hak politik yang sama bagi kelompok lain, atau sikap toleran terhadap kelompok yang tak disukai tetapi memiliki hak politik yang sama. Bila kompetisi tidak mampu menjamin hadirnya civil liberty dalam setiap pertarungan “demokrasi” itu berarti kita sedang mematikan kesadaran akan sikap toleransi dan partisipasi politik. Civil liberty, terutama toleransi politik di tingkat elite maupun massa, termasuk yang tidak sepikiran dan sejalan, sangat membantu bagi stabilnya sebuah demokrasi.

Komponen dasar dari demokrasi adalah sejauh mana kita mampu membaca suasana hati rakyat terhadap demokrasi, apalagi pertarungan itu dalam wilayah politik ”dalam ruangan”. Suasana hati rakyat terhadap demokrasi merupakan salah satu parameter penting dalam melihat kondisi demokrasi kita di Maluku Utara. Sudahkah ini disadari para elit kita yang bertarung demi kekuasaan?

Dengan demikian, tak ada jalan lain, untuk melihat centang-perenangnya demokrasi Maluku Utara yang harus didukung kuat dengan sikap berkompetisi yang toleran, termasuk bersedia menjadi pecundang atau pemenang. Lebih dari itu, perlu dihadirkan rasa kesadaran tinggi bahwa kekuasaan semata-mata untuk banyak orang, bukan untuk diri sendiri atau kelompok. Marilah, kita mulai belajar mendewasakan kesadaran berdemokrasi di Maluku Utara.[]

Tidak ada komentar: