Selasa, 31 Desember 2013

Sikap Politik Pers

MEDIA dalam hubungannya dengan kekuasaan merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Media dijadikan sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Kelompok dominan berusaha menampilkan definisi serta konstruksi realitas sosial menurut versi mereka sendiri. Dalam arena itu, berbagai dimensi esensial atau isu persoalan sehari-hari didefinisikan menurut kepentingannya dan berusaha menjadikan versinya sebagai yang paling absah.

Sosok jurnalis menjadi sorotan, dimana ia menjadi mesin produksi yang kreatif dalam mengkonstruksi berita. Pekerjaan wartawan pada hakikatnya adalah seperti yang diistilahkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann sebagai konstruksi realitas. Sehingga isi media sekedar hasil para pekerja media dalam mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Karena hanya menceritakan berbagai kejadian atau peristiwa, maka berita pada dasarnya merupakan realitas yang telah dikonstruksikan (Agus Sudibyo: 2001)
.

Lebih dari itu, pandangan kritis menilai bahwa wartawan pada dasarnya adalah partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Wartawan adalah bagian dari kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan sukar dihindari dari sikap partisipannya. Wartawan mempunyai nilai-nilai tertentu yang hendak dia perjuangkan yang berpengaruh besar dalam isi pemberitaan (Eriyanto: 2001).

Sehingga wartawan secara intens kerap menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialaminya secara subyektif. Subyektifitas tersebut muncul, terutama jika terdapat tuntutan pragmatisme dari instiusi media yang harus dipenuhi oleh seorang jurnalis. Wujudnya adalah motif kepentingan pada tingkat perorangan, diantaranya yang bersifat politis (partisan). Motif tersebut menjadikan proses dan kerja berita bukan lagi didasarkan pada landasan etis dan professional, namun pada landasan politik.
Motif politik mampu menjadi ruh sekaligus menentukan arahnya sebuah laporan. Prosesnya berdasarkan kebijakan redaksional media yang menginginkan adanya sebuah frame yang didasarkan atas kepentingan internal media. Individu atau seorang jurnalis mengkonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, sekaligus memantapkan realitas itu berdasarkan kepentingan institusi medianya. Hal itu juga diperkuat oleh adanya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, etnisitas, yang kesemuanya turut mempengaruhi wartawan dalam menghasilkan sebuah liputan (media content). Akibatnya, cepat atau lambat, media terjebak ke dalam trial by the press.

Bahasa sebagai Alat Konstruksi Berita

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Singkatnya, bahasa merupakan instrumen pokok yang digunakan media dalam menyusun atau menceritakan sebuah realitas. Dalam pandangan MAK Halliday bersama koleganya Ruqaiya Hassan, hal ini disebabkan oleh adanya fungsi bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi yang disebut sebagai konteks dan teks. Artinya, terdapat teks dan ada teks lain yang menyertainya; teks yang menyertai teks itu, adalah konteks. Sesuatu yang menyertai teks itu tidak sekedar bahasa tutur atau lisan (verbal), namun juga meliputi kejadian-kejadian nirkata (non-verbal) yang menjadi keseluruhan lingkungan teks itu. Dengan demikian, teks (berita) secara sederhana dapat dipahami sebagai sistem bahasa yang berfungsi.
Bagi media, bahasa bukan saja sebagai alat untuk mempresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Melalui penggunaan struktur bahasa, media tidak sekedar mampu menggambarkan sebuah realitas, namun juga bisa menentukan suatu gambaran (citra) yang akan muncul dalam benak khalayak. Dengan kata lain, bagi media bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan fakta, informasi atau opini, namun juga mentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik.
Lewat bahasa, seseorang mencoba mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuatannya) melalui pemilihan kata-kata yang secara efektif mampu memanipulasi konteks. Demikian halnya dalam media, bahasa mampu digunakan sebagai sarana menciptakan makna tertentu antara lain melalui pengembangan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya, memperluas makna dari istilah-istilah yang ada, mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru dan memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sitem bahasa.

Dalm konteks itulah, sistem bahasa mampu digunakan media sebagai alat untuk melakukan deligitimasi. Hasil penelitian yang dilakukan penulis mengenai Keberpihakan Berita Pers Tentang Konflik Politik Internal PKB dalam pemberitaan harian sore Wawasan dan harian Duta Masyarakat, secara umum ditemukan adanya perbedaan mendasar. Harian sore Wawasan yang notabene adalah media non-partisan dalam pemberitaannya menggunakan bahasa dan cara penyajian yang implisit dan eufemistik terhadap PKB versi Matori Abdul Djalil, seperti tercermin dari penggunaan istilah “indisipliner”. Sementara harian Duta Masyarakat yang notabene adalah koran partisan PKB berusaha mengidentifikasi Matori Abdul Djalil dengan berbagai perangai buruk melalui perangkat bahasa disfemisme dan hiperbolik, seperti tercermin dari penggunaan istilah “pembelot”, “pembangkang” dan “penghianat” untuk menggantikan istilah “indisipliner”.

Dengan demikian, bahasa yang dipakai media ternyata mampu mempengaruhi cara melafalkan (pronunciation), tata bahasa (grammar), susunan kalimat (syntax), perluasan dan modifikasi perbendaharaan kata dan akhirnya mengubah dan atau mengembangkan percakapan (speech), bahasa (language) dan makna (meaning). Dengan kondisi itu, hasil berita akan berpengaruh kuat terhadap pembentukan makna atau citra tentang suatu realitas.

Hal yang juga menarik untuk dicermati adalah hubungan antara pembacaan teks itu dengan posisi ideologi baik oleh pembuat teks maupun pembaca teks. Pembacaan dominan atas teks secara hipotesis akan terjadi kalau baik pembuat atau pembaca teks mempunyai kesamaan ideologi. Persamaan ideologi ini menyebabkan tidak ada beda pandangan antara penulis dengan pembaca. Akibatnya, nilai-nilai pandangan yang dibawa oleh wartawan bukan hanya disetujui oleh pembaca, lebih jauh dinikmati dan dikonsumsi oleh pembaca (Eriyanto: 2001).

Tidak ada komentar: